Minggu, 29 November 2009

Parafrase puisi "Sia-sia" karya Chairil Anwar

Sia Sia
Oleh : Chairil Anwar

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Chairil tak ingin memberikan cintanya, mungkin itulah yang ingin diungkap puisinya yang berjudul “Sia-sia” . Tampak tak ada penyesalan dan kesedihan atas penolakan akan cinta. Puisi tersebut bercerita tentang seseorang yang datang pada sang penyair dengan membawa karangan kembang yang melambangkan sebuah tawaran cinta, "Penghabisan kali itu kau datang membawa karangan kembang". Sebuah cinta yang begitu dalam dan suci yang hanya diberikan kepada sang penyair dengan penuh harapan tertuang dalam larik puisi “Mawar merah dan melatih putih: darah dan suci”. Sebuah tawaran cinta yang tulus untuk penyair.

Sebuah cinta yang membutuhkan kepastian dari penyair , sebuah harapan agar sang penyair mau menerima tawaran cinta yang tulus “Kau tebarkan padaku, serta pandang yang memastikan:untukmu”. Chairil ternyata tak begitu saja mengatakan “ya “ untuk sebuah cinta, bahkan dia harus bertanya apakah arti semua ini? “Sudah itu kita sama termangu, saling bertanya : Apakah ini?”. Cinta? Bagaimana mungkin Chairil Anwar tak bisa memaknai arti sebuah cinta?. Itu adalah sebuah cinta yang ditawarkan padanya. “Keduanya tak mengerti” ada sesuatu yang bergelut dihati penyair dan keduanya tak bisa mengerti, bagaimana mungkin ini sebuah cinta? Ada keraguan dihati penyair, dia tak bisa menyadari kehadiran cinta di hatinya.

“Seharian bersama. Tak hampir-menghampiri” larik tersebut telah mengambarkan begitu banyak waktu yang harus dihabiskan untuk memaknai sebuah cinta. Penyair tak mengungkapkan apapun dan hanya berdiam diri satu sama yang lain. “Ah!hatiku yang tak mau memberi” sebuah keputusan yang sebenarnya sulit untuk diucapkan namun itulah Chairil, dia tak mau memberi atau membagikan cintanya kepada wanita yang telah menawarkan banyak cinta. “Mampus kau dikoyak-koyak sepi” sebuah akhir yang terasa kejam, mungkin itulah makna pada larik tersebut. Chairil lebih suka sendiri dalam kesepiannya dan menghabus dalam-dalam rasa cinta itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar