Selasa, 05 Januari 2010

SAJAK DI ANTARA BELENGGU

Karya Sriuut

Perempuan muda itu tak tahu mengapa hari ini hatinya kelabu. Dipandangnya cakrawala, tampak matanya berkaca-kaca. Ada gelisah di hatinya. Sebuah kata tertahan di bibirnya yang tampak membiru menahan pedih yang dalam. Mengapa hidup tak ramah padanya? Andai dia bisa mengatur nasibnya, mungkin dia akan memilih menurut maunya. Tuhan tak tentukan dia untuk berjalan mulus di hidupnya.
Perempuan muda itu mengucap lirih sebuah nama yang memberikan warna baru dalam hidupnya. Sebuah nama yang mampu mengingatkan arti cinta yang sudah lama dilupakannya.
” Mengapa harus begini?” resahnya makin menjadi, air matanya menetes berlahan. Dia susuri lorong sepi itu, terasa sunyi sekali. Dia ingin pagi itu hujan rintik-rintik hingga tak ada seorang pun yang bertanya mengapa dia menangis. Diusapnya berlahan butiran putih yang menghias pipinya, dia harus menjadi wanita tegar hari ini hingga pelita-pelitanya tak tahu kesedihannya. Dia harus tampil menjadi sosok teladan bagi anak-anak harapannya. Dia harus tersenyum menjelma menjadi perempuan yang sempurna.

***

Ruang-ruang telah mulai dipenuh canda, lorong tak lagi sepi. Perempuan muda itu melangkah dengan pasti meski perih hatinya masih belumlah sembuh. Beberapa anak-anak menyapanya ramah dan dia tersenyum dengan tulus. memang itulah yang dilakukannya tiap hari. ”Tulus” sebuah kata yang telah mengakar di hatinya.
”Bagaimana kabar kalian? ” Perempuan muda selalu mengucapkan itu, setiap hendak mulai tugasnya. Mungkin itu pula yang selalu ingin dia ucapkan untuk pengembara yang telah memberi warna dalam hidupnya. Tapi tidak, dia tak ingin mencampur adukan kegelisahan dalam setiap tugasnya. Dia akan lupa sejenak pada pengembara bila sedang menerangkan bait-bait sajak atau saat dia berbicara tentang indahnya puisi Sapardi Djoko Damono, WS Renda dan Chairil Anwar yang penuh semangat karena itulah kesukaannya. Dia akan tersenyum jika pelitanya mampu goreskan kata-kata penuh makna di setiap lembaran putih. Duh Gusti, itulah kesukaan perempuan muda dan pengembara sangat paham akan itu.

Kapalku mengembara
Nahkodaku gelisah
Di manakah kotamu
Terlalu sulit aku tambatkan kapalku
Pelabuhanmu tertutup untukku
Namun mengapa syah bandarmu memanggilku
Karangmu begitu angkuh
Aku ingin menatapmu
Adakah mutiara masih tersembunyi dalam karang
Atau kau telah membuangnya di tengah laut?
Tidak kah kau iba melihatku
Nahkodaku telah kehilangan kendali
Kapalku masih di tengah samudra
Tidakkah kau ijinkan kapalku melabuh?



Itulah yang dia tulis dalam buku hariannya pagi itu. Dia tutup lagi dan ditinggalkan angannya di sana. Dulu adalah hari yang indah baginya, bersanding dengan lelaki yang dicintanya. Dia bangga menjadi seorang wanita dan seorang ibu bagi buah hatinya. Tanpa dimau, prahara itu datang padanya.
”Mengapa harus begini ? Mengapa harus terjadi padaku?”. Perempuan muda itu menjerit dalam hatinya. Lelaki sekaligus ayah anak-anaknya telah menghianati kesetiannya. Mengoyak dan membuat luka dihati perempuan muda. Banyak cinta yang sebenarnya dikhususkan untuk lelaki yang telah mengisi harinya. Perempuan lain tertawa di atas lukanya. Perempuan liar menoreh pilu di hatinya. Perempuan kejam telah menusuk hatinya yang penuh cinta. Perempuan yang tak tahu arti kesetiaan telah hancurkan biduk cintanya. Telah membuat seorang suami sakiti istrinya, telah membuat seorang ayah lukai anak-anaknya. Perempuan muda hanya mampu tertunduk dan jatuh di antara kepedihan.

***
Perempuan muda tersenyum lagi karena itulah yang bisa diberikan pada wajah-wajah tak berdosa, meski hatinya menjerit pada langit, pada bumi, pada alam yang tak ramah padanya. Dia tak ingin semua orang tahu cintanya telah hilang, hatinya telah kosong, nol dan hampa. Tidak, perempuan muda itu sangat hebat. Dia telah menjadi wanita sempurna dalam kerjanya. Jadi ibu untuk ratusan pelitanya. Jadi teladan bagi rekan dan saudaranya. Perempuan tegar ditengah kegundaan. Bagai air di padang tandus. Bagai hujan di musim kemarau.
Dia tak ingin biduknya hancur. Dia tak ingin sakit hatinya luluhkan mentari. Dia wanita hebat yang pemaaf. Kesetiannya telah terlukai namun tak ingin kapal dan rumahnya hancur ditikam prahara.
Perempuan muda kini bagai robot tak lagi rasakan kasih yang dalam. Raganya dia baringkan di atas dipan suaminya. Hatinya kosong. Jiwanya terluka namun raganya dia persembahkan untuk ayah dari anak-anaknya. Untuk suami yang telah mengoreskan kesedihan yang dalam. Pedih di antara kodratnya. Perih di antara takdirnya. Perempuan hebat memilih bersama karena tak tega air mata anaknya terjatuh. Perempuan muda jalani hidup sebagai istri kehilangan cinta, sebagai ibu yang terluka karena penghianatan. Perempuan hebat tak menyerah meski Perempuan lain menertawakanya.

****

Pengembara datang di tengah gelisah, menyapa perempuan muda yang kehilangan warna dalam hatinya. Dia tak tahu bagaimana awalnya? Ada sesuatu yang mengisi relung hatinya. Sesuatu yang indah, sesuatu yang telah lama hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang membuat harinya indah dan mampu menyisihkan sebentar kegundaannya. Pengembara tuliskan kata-kata indah untuk perempuan muda yang kehilangan banyak cinta dan lupa arti kasih sayang baginya.


Lewat mana kujawab kerinduan itu?
Adakah angin berhembus
Kesana?

Tidakkah kau rasa
Bayangan ada di depanmu

Lihat dalam segala
Yang ada di depanmu

Tidakkah ia hendak berkata

Rindu jua...



Pengembara kirimkan untaian indah. Perempuan muda hatinya berbunga, bagai camar terbang di laut lepas. Hatinya yang gundah berubah warna menjadi pelangi dengan semburat warna yang indah. Kekosongannya berganti rindu. Pengembara telah mencuri hatinya. Telah mengubah kehampaan menjadi gempita . Mengapa pengembara datang padanya? Mengapa tidak dulu saja ketika perempuan muda belum mengenal cinta? Mengapa harus sekarang, di saat kodratnya telah ditetapkan untuknya?
” Aku tak tahu lagi? Prahara atau anugrah bagiku? Aku tak mampu menjawab untuk takdir atau jalan hidupku? Aku tak tahu rahasia apalagi yang harus ku lakoni?” Perempuan muda bertanya dalam kebimbangannya.
Pengembara datang membawa cinta sekaligus resah bagi perempuan muda. Perempuan muda mulai dirundung rindu, pengembara kirimkan kebimbangan di hatinya.
Perahu dan biduk pengembara tidaklah sendiri. Banyak penumpang dan banyak jiwa menyatu dalam kodratnya. Bagaimana lagi menepis cinta yang telah terlanjur menghuni sebagaian mimpi perempuan muda? Pengembara tak mampu menjawab. Perempuan muda kirimkan resah. Pengembara diam begitu lama? Tak tahu harus berkata apa? Perempuan muda kian gundah.
Perempuan muda tak bisa lari darinya? Perempuan muda menangis lagi, tak tahu mengapa cinta harus mempermainkan hidupnya? Mengapa pengembara datang dan memberikan warna di hatinya jika tak lagi bisa bersama?
” Tidakkah kau ijinkan bagiku untuk mencintaimu? Salahkah jika kutemukan kekosongan itu padamu? Kau telah membelengguku dengan kasihmu” lemah perempuan muda itu bertanya.
” Tidak, aku tak menyalahkanmu, tentu aku ijinkan dirimu untuk mencintaiku, tapi banyak hal yang tak kau mengerti?” sejenak pengembara itu terdiam.
”Bukankah telah banyak hal yang bisa kupahami?”
”Duniaku tak sama denganmu?”
”Pada bagaian mana yang tak sama menurutmu?”
”Aku dengan segala keterbatasanku?”
” Aku tak paham maumu?’ lemah kata itu terucap dari bibirnya yang membiru karena menahan pedih yang terlalu lama.
” Kau tak akan paham atau mengerti bahwa banyak jiwa pada diriku, perahuku, keyakinanku dan salibku tak sama bagimu. Kesukaanmu karena kelebihanku dan cintamu karena kekuranganku?” Pengembara itu telah membuat hati dan pikiran perempuan muda itu kian sedih
”Lalu bagaimana denganku? Terlanjur sudah kau buat gelisah dan rindu di hatiku? Mengapa kau harus datang padaku? Bahkan sajak-sajakmu telah membelengguku!”
” Kita punya jalan yang sama, kesukaan yang sama, kita bisa mengubahnya menjadi lebih berarti!”
”Maksudmu?” Perempuan muda itu semakin gelisah
” Jangan menangis, pandanglah hidupmu, songsonglah harimu, tidakkah itu lebih berarti? Mari bersamaku meraih hari ini?” Dengan tenang pengembara itu menjelaskan pada perempuan hebat yang lama kehilangan cinta.
”Kalau begitu biarlah aku pergi darimu, atau sekalian ku ucapkan selamat tinggal padamu.” Tak bisa lagi perempuan muda itu menahan butiran kristal di matanya yang sedari tadi telah ditahannya agar tak jatuh. Dia tak ingin kelihatan lemah di hadapan pengembara.
”Kenapa harus begitu? Tidakkah kau bisa tulis pada sajak yang merupakan kesukaanmu itu?” tenang saja pengembara itu berkata, tak tampak kemarahan ataupun kebencian di wajah dan matanya.
”Jangan lagi menangis.” tambahnya lagi.
”Kau tak bisa pahami, bagaimana cintaku padamu?” lemah perempuan muda itu berucap sambil diusapnya air mata yang sejak tadi dibiarkan jatuh di pipinya.
”Apakah aku harus buang ibu dari anak-anakku? Tidak! istri adalah hidupku sendiri. Itulah salibku!” suara pengembara itu tegas dan setengah tak sabar.
”Tidak. Bukan itu mauku, aku tak ingin menyakiti siapapun, aku tak minta apapun darimu! Cukuplah ijinkan aku mencintaimu? Salahkah aku temukan itu padamu? Aku pun tak akan tinggalkan kapal dan bidukku? Tak kan kubiarkan permataku hancur karena diriku! Tak ingin kutenggelamkan kapalku didasar laut? Tidak, bukan itu mauku!” isak perempuan itu kian menjadi. Pengembara terdiam, mulai paham akan mau perempuan muda itu. Tahulah pengembara, perempuan muda itu hatinya hampa, perempuan muda telah dikhianati, perempuan muda telah terluka, perempuan muda bernasib malang. Perempuan itu telah kehilangnan banyak cinta. Ketegarannya karena hidupnya sangat berarti bagi semua orang. Perempuan hebat menemukan lagi cintanya. Pengembara tersenyum. Wajahnya begitu lembut, dia tersenyum pada perempuan muda .

”Jangan menangis lagi, ini untukmu.”

Inikah kesukaanmu: maka pada suatu hari ia ingin sekali menangis sendiri
Sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu...
Ia ingin pagi itu hujan rintik-rintik dan lorong sepi
agar ia bisa berjalan sendiri saja
Sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa?



” Mengapa engkau selalu membuatku tak bisa lari darimu? Mengapa juga kau paham akan mauku?” Perempuan muda itu tersenyum meski air matanya masih hangat terasa dipipinya. Wajahnya tak tampak sedih lagi meski tak bisa ditahannya air mata itu. Dia semakin paham maksud pengembara. Ya, Dia tak harus pergi dari pengembara. Perempuan muda telah mengubah cintanya lebih berarti. ”Carpediem” raihlah hari ini. Pengembara telah kenalkan hidup itu lebih indah dan cinta itu adalah inspirasi untuknya. Pengembara tersenyum pasti sambil dia lantunkan sajaknya.

Hujan telah turun

Menyusup tanah
harum menguap
sementara air menuju laut
tuk kembali membuat hujan


Perempuan muda tak lagi teteskan air mata. Perempuan muda temukan semuanya. Pengembara adalah semangatnya, inspirasi dan hidupnya. Tak ada yang tersakiti, tak ada yang harus terluka karena hidupnya sangat berarti. Karena harinya haruslah indah. Pengembara dan perempuan muda pun tersenyum pada esok yang membawanya pada anugrah.


****